Posted in

Ketika Algoritma Membentuk Kepercayaan: Transformasi Kapitalis Dakwah Islam Digital di Indonesia

Siti Fadilla dan Putri Isma Indriyani (Peneliti Muda Kajian Komunikasi, Media dan Budaya)

MD Research Center, Yogyakarta: Penelitian mengupas secara mendalam bagaimana dakwah Islam di era digital mengalami pergeseran nilai dan orientasi akibat dominasi algoritma media sosial serta logika kapitalisme yang melingkupinya. Dalam konteks ini, dakwah tidak lagi sekadar berfungsi sebagai aktivitas spiritual untuk menyebarkan ajaran Islam, melainkan juga sebagai produk ekonomi dan budaya yang tunduk pada mekanisme pasar digital. Media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok menjadi arena baru bagi para da’i untuk menyampaikan pesan keagamaan. Namun, di balik kemudahan akses dan luasnya jangkauan audiens, tersembunyi mekanisme algoritmik yang bekerja berdasarkan logika popularitas, keterlibatan pengguna, dan potensi monetisasi. Algoritma tersebut menentukan konten mana yang dianggap layak tampil dan mendapatkan perhatian, sehingga pesan dakwah pun harus menyesuaikan diri dengan selera pasar dan tuntutan kapitalisme digital. Fenomena ini menjadi penting untuk dikaji karena membawa konsekuensi besar terhadap makna dan fungsi dakwah dalam masyarakat Muslim Indonesia. Dakwah, yang pada hakikatnya mengandung dimensi spiritual, moral, dan sosial, kini berhadapan dengan sistem teknologi yang beroperasi atas dasar efisiensi, individualisme, dan profit. Akibatnya, nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kebersamaan yang menjadi fondasi dakwah Islam sering kali tersingkir oleh logika “viralitas” dan “performa visual”.

Dalam situasi ini, pesan keagamaan yang sebelumnya disampaikan dengan kedalaman reflektif berubah menjadi konten singkat yang mudah dikonsumsi, disukai, dan dibagikan. Penelitian ini hadir untuk menjawab kegelisahan atas realitas tersebut dengan mempertanyakan: sejauh mana algoritma media sosial membentuk kepercayaan, otoritas, dan orientasi nilai dalam praktik dakwah digital di Indonesia? Objek kajian utama dalam penelitian ini adalah para da’i, masyarakat Muslim pengguna media sosial, dan platform digital itu sendiri. Para da’i dihadapkan pada dilema antara mempertahankan otentisitas spiritual dakwah atau mengikuti arus algoritmik agar pesan mereka tidak tenggelam dalam lautan konten digital. Di sisi lain, masyarakat Muslim menjadi konsumen yang kepercayaannya tidak lagi terbentuk melalui otoritas keilmuan tradisional, melainkan oleh popularitas dan estetika visual yang dikendalikan algoritma. Platform media sosial pun berperan sebagai aktor yang menentukan arah perbincangan dan konsumsi keagamaan, menjadikan algoritma sebagai “penjaga gerbang” baru dalam menentukan kebenaran dan legitimasi pesan agama di ruang publik. Fenomena transformasi dakwah ini paling jelas terlihat di Indonesia—sebuah negara dengan jumlah pengguna media sosial yang sangat tinggi dan masyarakat yang religius. Ruang digital di Indonesia kini menjadi ruang pertemuan antara tradisi religius yang berakar pada nilai-nilai komunal dan budaya digital global yang berorientasi pada pasar. Platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi panggung bagi berbagai bentuk ekspresi religius baru, mulai dari kajian singkat, konten humor Islami, hingga gaya hidup hijrah yang dikemas dalam visual estetik. Dalam ruang ini, dakwah bukan hanya aktivitas spiritual, tetapi juga bentuk pertunjukan budaya dan ekonomi yang melibatkan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi yang sangat kompleks. Konteks waktu penelitian ini juga relevan dengan perkembangan pascapandemi COVID-19, ketika kegiatan keagamaan banyak berpindah ke ruang daring.

Fenomena Ngaji Online dan pengajian virtual menjadi contoh bagaimana digitalisasi mempercepat transformasi praktik keagamaan. Namun, di balik kemajuan ini, algoritma media sosial memperkuat kapitalisasi terhadap konten dakwah. Semakin besar interaksi, semakin tinggi pula nilai ekonomi konten tersebut. Dengan demikian, dakwah di era digital bukan hanya menjadi sarana penyebaran nilai, tetapi juga instrumen ekonomi baru yang ikut membentuk identitas dan orientasi keagamaan masyarakat Muslim urban. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode literature review, menelaah berbagai sumber akademik terkait dakwah digital, algoritma media sosial, dan komodifikasi agama. Dengan melakukan reduksi dan triangulasi data, penelitian ini menelusuri bagaimana algoritma memengaruhi cara pesan keagamaan diproduksi, disebarkan, dan dipahami oleh masyarakat. Melalui analisis tematik, ditemukan bahwa algoritma berfungsi bukan hanya sebagai alat teknis, tetapi sebagai agen ideologis yang membentuk pengalaman spiritual dan sosial umat Islam. Dengan demikian, media digital tidak bisa dipandang netral, sebab ia membawa nilai-nilai kapitalistik yang secara perlahan mengubah struktur otoritas dan makna keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa algoritma berperan dominan dalam mengonstruksi dan mendistribusikan konten dakwah. Ia menciptakan sistem seleksi otomatis yang menyaring pesan-pesan keagamaan berdasarkan kecenderungan pengguna, menciptakan apa yang disebut sebagai filter bubble—ruang tertutup di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya polarisasi dan menurunnya ruang dialog keagamaan yang terbuka dan inklusif. Selain itu, algoritma juga mendorong da’i untuk menyesuaikan pesan mereka dengan pola konsumsi pengguna agar tetap relevan dan “dilirik” sistem. Akibatnya, konten dakwah sering kali dipermudah dan disesuaikan agar menarik perhatian, bukan untuk mendalamkan pemahaman agama.

Salah satu temuan penting lain adalah adanya kesenjangan literasi digital antara para da’i dan jamaahnya. Banyak da’i yang masih memandang media sosial sebagai alat netral, tanpa memahami mekanisme algoritmik di baliknya. Kurangnya literasi ini membuat sebagian da’i tidak mampu mengoptimalkan teknologi secara efektif, bahkan terjebak dalam praktik imitasi tanpa arah yang jelas. Sebaliknya, da’i yang memiliki literasi digital tinggi mampu memanfaatkan algoritma untuk memperluas jangkauan dakwah mereka dan membangun citra personal yang kuat. Perbedaan kemampuan ini menimbulkan bentuk baru dari kesenjangan sosial dan otoritas keagamaan, di mana popularitas digital sering kali menggantikan otoritas keilmuan tradisional. Dalam kerangka kapitalisme digital, dakwah mengalami pergeseran orientasi nilai. Pesan keagamaan tidak lagi hanya berorientasi pada pembinaan moral dan spiritual, tetapi juga mengikuti logika pasar yang menekankan kompetisi, branding, dan monetisasi. Fenomena seperti prosperity gospel dalam tradisi Barat kini menemukan bentuknya di kalangan Muslim melalui narasi-narasi “kesuksesan Islami” yang memadukan ajaran agama dengan semangat neoliberal. Dakwah tidak lagi sekadar menuntun umat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga mendorong pencapaian individual, gaya hidup produktif, dan pencitraan diri yang selaras dengan tren kapitalisme global. Di titik ini, spiritualitas menjadi permukaan simbolik yang dikemas agar layak jual di pasar digital. Komodifikasi dakwah membawa implikasi sosial dan kultural yang kompleks. Di Indonesia, muncul fenomena dakwahtainment—yakni perpaduan antara dakwah dan hiburan—yang menjadikan pesan agama dikemas dengan gaya ringan, visual menarik, dan disertai promosi produk atau merek tertentu. Hal ini menghasilkan bentuk baru dari otoritas keagamaan di mana para influencer Muslim memiliki pengaruh besar terhadap perilaku dan persepsi publik. Otoritas ulama tradisional perlahan bergeser ke figur digital yang lebih menonjol di media. Selain itu, muncul pula kelas menengah Muslim urban yang mengonsumsi dakwah layaknya produk gaya hidup: religius, modern, dan konsumtif.

Dakwah menjadi bagian dari identitas sosial yang diukur dari tampilan, bukan dari kedalaman spiritual. Namun demikian, penelitian ini tidak sekadar menyoroti sisi negatif transformasi ini, melainkan juga menawarkan pemikiran kritis untuk mengatasinya. Penguatan literasi digital di kalangan da’i dan jamaah menjadi kebutuhan mendesak agar mereka mampu memahami logika media dan menggunakan teknologi secara etis.

Refleksi Kritis:

Dakwah digital harus diarahkan untuk tidak tunduk sepenuhnya pada algoritma, tetapi justru menantangnya dengan nilai-nilai Islam yang otentik. Dengan membangun kesadaran kritis terhadap cara kerja media, para da’i dapat menjaga integritas pesan dakwah tanpa kehilangan relevansi di era digital. Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa dakwah digital di Indonesia telah mengalami transformasi mendasar yang melibatkan dimensi teknologi, sosial, ekonomi, dan ideologis. Algoritma berperan besar dalam membentuk kepercayaan dan orientasi keagamaan masyarakat, sementara logika kapitalisme mengubah pesan spiritual menjadi komoditas yang dapat dipasarkan. Keberhasilan dakwah di era digital tidak lagi dapat diukur dari jumlah pengikut atau tayangan, melainkan dari sejauh mana pesan yang disampaikan mampu mempertahankan moralitas dan kedalaman nilai Islam di tengah arus kapitalisme global. Dengan demikian, dakwah digital bukan sekadar fenomena komunikasi, melainkan juga medan perjuangan ideologis antara spiritualitas dan ekonomi, antara kebenaran dan performa, antara keikhlasan dan kapitalisasi. Untuk itu, masa depan dakwah Islam di era algoritmik menuntut dua hal sekaligus: adaptasi terhadap teknologi dan resistensi terhadap logika kapitalisme digital. Dakwah harus mampu memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran nilai-nilai Islam, sekaligus menjaga agar pesan tersebut tidak kehilangan substansi karena tekanan pasar. Hanya dengan kesadaran kritis dan etika digital yang kuat, umat Islam dapat menjadikan teknologi sebagai sarana memperdalam iman, bukan sekadar memperluas jangkauan pengaruh. Dalam makna yang lebih luas, penelitian ini menyerukan perlunya merekonstruksi kembali makna dakwah sebagai gerakan moral dan spiritual yang tetap relevan di tengah dunia yang semakin algoritmik dan terkapitalisasi.

Narasi ini di sarikan dari artikel Ilmiah yang bisa di akses melalui link ini: https://ejournal.mdresearchcenter.id/index.php/surau/article/view/34

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *