Posted in

Nyadran Lintas Iman: Kisah Harmoni dari Sebuah Desa di Temanggung

Dr. Hijrian Angga Prihantoro, Lc., L.L.M.

Dosen UIN Sunan Kalijaga/Director of Public Relations at the JAGMAN Institute

MD Research Center, Yogyakarta: Di tengah gemuruh berita tentang konflik dan perbedaan yang mengisi media sosial, ada secercah cahaya yang bersinar tenang dari sebuah desa kecil di kaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah. Desa itu bernama Getas, di Kecamatan Kaloran, Temanggung. Di sini, bukan hanya panorama alam yang memesona, tetapi juga sebuah tradisi lama telah berubah menjadi simbol hidup tentang bagaimana perbedaan bukanlah halangan untuk hidup berdampingan dengan damai. Tradisi itu disebut Nyadran Lintas Iman.

Bayangkan sebuah pemakaman umum di sebuah dusun. Biasanya, tempat seperti ini mungkin terasa sepi dan muram. Namun, pada suatu pagi di bulan Sya’ban (atau Ruwah dalam penanggalan Jawa), tempat itu berubah menjadi sebuah balai pertemuan akbar yang meriah dan khidmat. Puluhan keluarga—yang pagi itu mungkin saja beribadah di masjid, vihara, atau gereja yang berbeda—berkumpul bersama. Mereka membawa nasi tumpeng, lauk-pauk, buah, dan jajanan tradisional dalam wadah kayu bernama jodang. Mereka duduk berdampingan di atas tikar, tidak peduli apakah tetangga mereka seorang Muslim, Buddha, Kristen, atau Katolik. Inilah wajah Indonesia yang sesungguhnya: berbhineka, namun tunggal ika dalam tindakan.

Apa Sebenarnya Nyadran Ini?

Pada awalnya, Nyadran adalah tradisi leluhur masyarakat Jawa, khususnya yang beragama Islam. Ini adalah sebuah ritual untuk menghormati arwah leluhur dan membersihkan diri menyambut bulan suci Ramadan. Intinya adalah ziarah kubur, mendoakan yang telah pergi, dan berbagi rezeki dengan sesama.

Namun, di Desa Getas yang unik, tradisi ini mengalami evolusi yang indah. Ia tidak lagi menjadi milik satu agama saja. Nyadran telah bertransformasi menjadi sebuah festival kerukunan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, terlepas dari keyakinan mereka. Ritual ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur—seperti menghormati orang tua, bersyukur, dan berbagi—adalah nilai universal yang diakui oleh semua agama.

Prosesinya sederhana namun sarat makna. Diawali dengan sambutan dari tetua desa yang mengingatkan semua orang akan pentingnya melestarikan warisan nenek moyang. Kemudian, datanglah momen yang paling mengharukan: para pemuka agama—seorang Kyai, seorang Biksu, seorang Pendeta, dan seorang Pastor—bergantian memimpin doa sesuai dengan keyakinan dan tata cara masing-masing. Suasana hening dan penuh khidmat. Umat Buddha mendengarkan dengan hormat saat umat Islam berdoa, dan sebaliknya. Tidak ada yang merasa terganggu, tidak ada yang merasa paling benar. Yang ada hanyalah saling menghormati.

Puncak acara adalah ketika semua jodang yang berisi makanan dibuka. Makanan yang dibawa setiap keluarga kemudian dibagikan secara merata kepada semua yang hadir. Seorang ibu yang beragama Katolik bisa mencicipi nasi tumpeng yang dibuat oleh keluarga Buddha. Seorang bapak yang Muslim menikmati kue dari keluarga Kristen. Dalam momen berbagi ini, tidak ada lagi sekat. Mereka bukan lagi tamu, melainkan satu keluarga besar Desa Getas.

Siapa Aktor di Balik Harmoni Ini?

Keindahan ini tidak tercipta dengan sendirinya. Pelaku utamanya adalah seluruh warga Getas sendiri, dengan komposisi yang unik: 46% Muslim, 34% Buddha, 19% Kristen, dan sisanya Katolik. Mereka adalah petani, pedagang, pegawai, dan ibu rumah tangga biasa. Yang membedakan, mereka memiliki kesadaran kolektif yang tinggi untuk merawat perdamaian.

Peran tokoh masyarakat dan pemuka agama juga krusial. Mereka bukan hanya pemimpin upacara, tetapi juga “jembatan” yang aktif mendialogkan perbedaan. Mereka duduk bersama, merencanakan acara ini, dan memastikan tidak ada satu kelompok pun yang merasa ditinggalkan atau didominasi. Para pemuda juga tak kalah penting. Mereka turun tangan membersihkan makam, mengatur parkir, dan memastikan acara berjalan lancar. Inilah gotong royong dalam wujudnya yang paling nyata.

Mengapa Tradisi Ini Begitu Berharga?

Di era di mana hoaks dan ujaran kebencian mudah menyebar, tradisi seperti Nyadran Lintas Iman bagai oase di padang gurun.

  1. Penangkal Radikalisme: Nyadran adalah bukti nyata bahwa perbedaan keyakinan tidak harus berujung pada permusuhan. Ia adalah narasi tandingan yang powerful terhadap paham-paham keagamaan yang eksklusif dan intoleran. Dengan melihat langsung praktik baik ini, generasi muda belajar bahwa toleransi bukan hanya kata-kata, tetapi sebuah tindakan.

  2. Perekat Sosial yang Ampuh: Dalam kehidupan sehari-hari, warga Getas mungkin sibuk dengan urusannya masing-masing. Nyadran memaksa (dalam arti baik) mereka untuk bertemu, berinteraksi, dan membangun ikatan. Acara makan bersama setelah doa adalah puncak dari ikatan sosial itu. Solidaritas yang terbangun di makam kemudian terbawa ke dalam kehidupan bermasyarakat.

  3. Sekolah Moderasi Beragama: Tanpa disadari, Nyadran adalah praktik sempurna dari “moderasi beragama”. Warga belajar untuk tidak memutlakkan keyakinannya sendiri, tetapi juga menghargai keyakinan orang lain. Mereka belajar bahwa komitmen pada negara (Pancasila) bisa berjalan seiring dengan komitmen pada agama.

  4. Pendidikan Cinta Lingkungan: Nilai lain yang sering terlupakan adalah aspek ekologis. Sebelum acara, warga bersama-sama membersihkan rumput liar dan sampah di sepanjang jalan menuju makam. Setelah acara, mereka memastikan tidak ada sebutir pun sampah yang tertinggal. Mengotori makam dianggap sebagai tindakan tidak hormat pada leluhur. Dengan demikian, cinta pada lingkungan diajarkan melalui kearifan lokal.

Bagaimana Mereka Berhasil Mempertahankannya?

Kunci utamanya adalah komunikasi dan konsensus. Tidak ada paksaan dalam ritual ini. Setiap keluarga menyumbangkan makanan secara sukarela. Setiap pemuka agama diberikan panggung yang sama. Tidak ada yang merasa “dikorbankan” atau “dikalahkan”. Tradisi ini dikelola dengan prinsip win-win solution.

Selain itu, dukungan dari pemerintah desa dan kabupaten juga penting. Mereka melihat tradisi ini bukan sebagai hal yang kuno, melainkan sebagai aset sosial yang tak ternilai yang perlu didukung dan dilestarikan.

Penutup: Getas, Cermin untuk Indonesia

Kisah dari Desa Getas ini mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga: kerukunan bukanlah sebuah mimpi yang mustahil. Ia bisa diwujudkan dengan niat tulus, dialog yang terus-menerus, dan komitmen untuk mengutamakan kebersamaan di atas perbedaan.

Nyadran Lintas Iman lebih dari sekadar acara tahunan. Ia adalah ruang kelas kehidupan di mana nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar diajarkan dan dipraktikkan secara langsung. Ia mengingatkan kita bahwa sebelum kita memeluk label-label agama, kita pertama-tama adalah manusia yang punya hati untuk mencintai dan berbagi.

Dalam kearifan lokal Desa Getas, kita menemukan resep sederhana untuk perdamaian global: Duduklah bersama, berbicaralah dari hati ke hati, dan berbagilah makanan. Maka, engkau akan menemukan sahabat dalam setiap perbedaan.

Desa Getas mungkin kecil, tetapi pesannya sangat besar. Ia adalah miniatur Indonesia yang kita idamkan: damai, harmonis, dan kaya akan budaya. Dan cerita ini, yang lahir dari sebuah desa di Temanggung, layak untuk diketahui oleh seluruh dunia.

Narasi ini di sarikan dari karya tulis ilmiah yang bisa di akses melalaui link ini: https://ejournal.stainkepri.ac.id/rusydiah/article/view/2432

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *