Di tengah derasnya arus digitalisasi yang membentuk ulang fondasi kehidupan manusia modern, muncul kebutuhan mendesak untuk memahami bukan hanya teknologi yang kita gunakan, tetapi juga transformasi kultural yang ditimbulkannya. Salah satu pemikir yang paling visioner dalam menjawab tantangan ini adalah Pierre Lévy, filsuf asal Prancis yang dikenal dengan gagasannya tentang virtualisasi dan kecerdasan kolektif. Dalam karya monumentalnya, Becoming Virtual: Reality in the Digital Age, Lévy menawarkan suatu kerangka pemikiran radikal: bahwa yang virtual bukanlah bayangan semu dari kenyataan, melainkan kenyataan itu sendiri dalam bentuk potensial. Melalui gagasan inilah ia menguraikan bagaimana budaya dan media digital tidak sekadar sebagai alat bantu teknologis, melainkan sebagai ruang ontologis baru yang membentuk identitas, pengetahuan, dan interaksi sosial manusia kontemporer.
Konsep utama yang ditawarkan Lévy adalah virtualisasi. Dalam pengertian Lévy, virtualisasi adalah proses transformatif yang menggeser eksistensi dari bentuk aktual ke bentuk virtual. Ia bukan berarti “menghilang” atau “menjadi palsu”, seperti anggapan umum yang mengaitkan virtual dengan sesuatu yang tidak nyata. Sebaliknya, virtual adalah sebuah cara eksistensi yang sepenuhnya nyata dalam potensinya. Ia hidup bukan karena kehadirannya yang material, melainkan karena kemampuannya untuk diaktualisasikan dalam berbagai bentuk, konteks, dan tafsir. Dalam filsafat klasik, virtual adalah daya laten yang belum diwujudkan; dalam dunia digital menurut Lévy, virtual adalah medan makna dan keberadaan yang hidup dalam jaringan relasional.
Bagi Lévy, media digital adalah medium utama dalam proses virtualisasi ini. Ia menyebut bahwa digitalisasi bukanlah sekadar konversi bentuk dari analog ke bit dan byte, tetapi sebuah pergeseran struktur eksistensial. Ketika teks dicetak di atas kertas, ia bersifat statis dan final suatu bentuk aktual dari pemikiran. Namun ketika teks menjadi digital, ia memasuki ruang virtual yang tak terbatas: ia bisa dikomentari, diparafrase, disebarkan, dimodifikasi, atau ditautkan ke teks lain. Proses ini menjadikan teks digital sebagai problematika terbuka, bukan sebagai makna tetap. Media digital, dalam hal ini, bukan lagi alat representasi pasif, tetapi ruang performatif di mana pembacaan menjadi penciptaan.
Dalam konteks budaya, virtualisasi menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan baru yang cair, terbuka, dan desentralistik. Budaya tidak lagi diproduksi dan dikonsumsi secara vertikal dari pusat kekuasaan (seperti lembaga pendidikan, media mainstream, atau negara) ke masyarakat luas—tetapi terjadi secara horizontal dan partisipatoris. Setiap individu kini adalah produsen budaya. Melalui blog, media sosial, vlog, meme, podcast, dan berbagai bentuk ekspresi digital lainnya, orang-orang mengambil bagian dalam produksi makna. Budaya tidak lagi bersifat representasional semata, tetapi operasional: ia menjadi tindakan, keterlibatan, dan jaringan kolaboratif. Ini yang kemudian Lévy sebut sebagai bentuk baru dari kecerdasan kolektif.
Konsep collective intelligence adalah inti dari pemikiran Lévy dalam memahami bagaimana masyarakat mengorganisasi pengetahuan di era digital. Bagi Lévy, kecerdasan bukan lagi hanya milik individu, tetapi hadir dalam jaringan: dalam konektivitas, dalam kolaborasi, dan dalam dinamika pertukaran informasi yang tak pernah berhenti. Internet, menurutnya, adalah ekstensi dari otak kolektif manusia. Sama seperti otak yang terdiri dari neuron yang saling terhubung dan berkomunikasi, komunitas virtual juga terdiri dari individu yang berbagi, berkomentar, merevisi, dan menciptakan pengetahuan bersama. Ini bukan hanya perubahan epistemologis, tetapi juga perubahan ontologis: bagaimana kita “menjadi” dalam relasi dengan yang lain, melalui media yang kita gunakan.
Dalam konteks ini, media digital menjadi lebih dari sekadar saluran komunikasi. Ia adalah ruang ontologis, tempat di mana eksistensi manusia diartikulasikan dan dijalani. Konsep kehadiran, yang dahulu selalu melekat pada tubuh fisik dalam ruang tertentu, kini mengalami transformasi besar. Dalam budaya digital, seseorang bisa “hadir” di ruang obrolan, dalam komentar Instagram, di ruang Zoom, atau dalam game daring. Kehadiran menjadi performatif dan representasional. Tubuh fisik tidak lagi menjadi satu-satunya pusat identitas; avatar, nama pengguna, foto profil, dan emosi digital menjadi ekstensi dari identitas itu sendiri. Ini adalah proses virtualisasi tubuh, sebagaimana Lévy bahas dalam bab-bab awal bukunya. Tubuh manusia, dalam pengaruh teknologi, menjadi hibrida antara yang biologis dan yang digital.
Tidak hanya tubuh dan teks, Lévy juga menyoroti virtualisasi dalam ruang sosial, ekonomi, dan politik. Ekonomi digital, misalnya, telah melahirkan bentuk-bentuk nilai baru yang sepenuhnya simbolik dan tidak berbasis pada materialitas: likes, views, algoritma popularitas, mata uang kripto, hingga NFT. Semua ini menunjukkan bahwa nilai dalam budaya digital bukan ditentukan oleh kelangkaan fisik, tetapi oleh pengaruh dan perhatian sesuatu yang sifatnya sepenuhnya virtual namun berdampak nyata. Dalam politik, ia menyebutkan munculnya “komunitas virtual” yang tidak dibatasi oleh geografi, tetapi oleh afinitas dan proyek bersama. Demokrasi digital, dengan segala kompleksitasnya, memungkinkan partisipasi yang lebih luas tetapi juga menimbulkan tantangan baru terhadap otoritas dan kebenaran.
Namun Lévy tidak mengabaikan bahaya dari proses virtualisasi ini. Ia memperingatkan akan risiko alienasi, yaitu ketika proses virtualisasi tidak lagi membuka ruang kreatif dan relasional, tetapi justru mengasingkan individu dari dunia dan dirinya sendiri. Dalam budaya digital, batas antara publik dan privat menjadi kabur. Privasi dapat hilang dengan satu unggahan; identitas bisa direkayasa atau bahkan dicuri; dan manusia bisa kehilangan kontrol atas representasi dirinya. Reifikasi atau penyeragaman dalam bentuk-bentuk algoritmis di mana tindakan manusia diproses sebagai data dan statistik juga menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, Lévy menyerukan pentingnya kartografi etis dan estetika baru dalam menjelajahi ruang virtual ini.
Kartografi virtual yang dimaksud Lévy adalah upaya untuk memahami medan keberadaan baru ini bukan dalam kerangka oposisi real vs virtual, natural vs artifisial melainkan dalam kerangka diferensiasi: virtualisasi yang produktif vs virtualisasi yang menindas. Ia menekankan bahwa kita harus mampu membedakan antara virtualisasi yang mencipta dan virtualisasi yang mengasingkan. Dalam satu sisi, media digital bisa menjadi medan emansipasi, tempat di mana minoritas bisa bersuara, komunitas bisa tumbuh, dan kreativitas bisa meledak. Namun di sisi lain, ia juga bisa menjadi alat kontrol, penyeragaman, dan dominasi budaya melalui algoritma, monopolistik platform, dan ekonomi data.
Pierre Lévy juga mengangkat pentingnya nomadisme digital sebagai kondisi eksistensial manusia modern. Dalam budaya digital, kita menjadi nomad, bukan dalam arti fisik, tetapi dalam arti eksistensial dan kultural. Kita berpindah dari satu platform ke platform lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu identitas digital ke identitas lainnya. Kita melompat dari satu konteks ke konteks yang berbeda tanpa benar-benar menetap. Nomadisme ini membawa kebebasan, tetapi juga ketidakpastian; ia membuka ruang eksplorasi, tetapi juga menuntut ketangguhan dalam navigasi makna yang terus berubah.
Dengan pemikiran ini, Lévy menempatkan budaya digital sebagai arena heterogenesis proses terus-menerus menjadi yang lain. Dalam ruang digital, tidak ada identitas yang final, tidak ada makna yang mutlak. Segalanya bersifat cair, terbuka, dan dapat direvisi. Ini berbeda dari pemahaman budaya sebelumnya yang cenderung menekankan kontinuitas, stabilitas, dan otoritas. Budaya digital, sebagaimana Lévy pahami, adalah medan eksperimentasi eksistensial, di mana manusia terus-menerus membentuk dan dibentuk oleh relasi, kode, dan interaksi.
Gagasan-gagasan Lévy ini sangat relevan untuk membaca tantangan dan peluang budaya digital hari ini. Dalam dunia yang dipenuhi oleh media sosial, algoritma, metaverse, dan kecerdasan buatan, kita tidak bisa lagi memahami budaya hanya dalam kerangka representasi dan produksi. Kita harus memahaminya sebagai proses relasional, jaringan afek dan informasi, medan konflik dan kolaborasi. Budaya digital bukan sekadar fenomena luar, tetapi bagian dari proses menjadi manusia itu sendiri. Kita menjadi melalui interaksi kita dengan teknologi, dan dalam proses itu, kita menjadi virtual.
Lévy tidak menawarkan solusi tertutup. Sebaliknya, ia membuka ruang kontemplasi dan tindakan. Baginya, tugas kita sebagai manusia digital bukan hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengarang makna, navigator informasi, dan arsitek ruang virtual. Kita perlu mengembangkan etika keterlibatan digital, estetika jaringan, dan ekologi informasi agar virtualisasi menjadi ruang pembebasan, bukan perbudakan. Ia mengajak kita untuk menjadi sadar bahwa dalam setiap klik, tautan, unggahan, dan komentar, kita sedang ikut serta membentuk ontologi dunia baru.
Sebagai penutup, teori Pierre Lévy tentang budaya dan media digital mengajarkan kita bahwa yang virtual bukanlah lawan dari realitas, melainkan cara lain untuk menjadi nyata. Dunia digital adalah ruang di mana manusia dan teknologi bertemu untuk menciptakan bentuk-bentuk eksistensi baru yang cair, kolektif, dan terus berkembang. Dalam ruang ini, budaya bukan hanya warisan, tetapi juga proyek; bukan hanya sesuatu yang diwarisi, tetapi sesuatu yang sedang dibuat bersama. Dan dalam proyek besar ini, setiap individu memiliki peran: sebagai pencipta, penghubung, dan pemakna. Kita tidak hanya hidup dalam dunia digital kita adalah bagian dari cara dunia menjadi.
Secara sederhana Teori Virtualisasi Levy dapat di Ilustrasikan seperti gambar dibawah ini:
Dirangkum dari buku: Becoming Virtual: Reality in the Digital Age (Pierre Lévy)