Posted in

Mengubah Paradigma Halal: Dari Birokrasi Menuju Pemberdayaan UMKM

Zaid Raya Argantara

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Al-Amien Prenduan Sumenep

MD Research Center, Yogyakarta; Indonesia tengah berdiri di persimpangan jalan yang menentukan dalam perjalanan menuju pusat industri halal dunia. Dengan populasi Muslim terbesar secara global, dukungan politik yang kuat, serta geliat industri kreatif dan UMKM yang luar biasa, potensi Indonesia sesungguhnya tak terhingga. Namun, di balik optimisme besar ini, terselip sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: visi besar di tingkat makro ternyata tidak selalu selaras dengan realitas di tingkat mikro. Puluhan juta pelaku UMKM—yang sejatinya menjadi tulang punggung ekonomi nasional—masih terjebak dalam persepsi bahwa sertifikasi halal adalah birokrasi yang rumit, penuh berkas, mahal, dan sulit dijangkau. Padahal, dalam konteks ekonomi halal global, justru sektor inilah yang paling strategis untuk diperkuat. Maka, tantangan terbesar Indonesia bukan sekadar mengumandangkan visi “pusat industri halal dunia”, melainkan bagaimana menjembatani kesenjangan antara ambisi makro dan kesiapan mikro. Di sinilah peran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi krusial—bukan hanya sebagai regulator yang menetapkan standar, tetapi sebagai katalisator yang aktif turun ke gelanggang, mendampingi, mengedukasi, dan menumbuhkan kepercayaan pelaku usaha bahwa sertifikasi halal bukan beban, melainkan tiket menuju masa depan yang lebih berdaya saing.

Bayangkan perjalanan seorang Ibu Siti, pengusaha keripik pisang dari Malang. Setiap hari ia bekerja dengan penuh ketulusan, menjaga kebersihan alat, memastikan bahan baku berkualitas, dan menjual produknya di pasar tradisional maupun online. Ia yakin bahwa produknya halal, karena dibuat dengan niat baik dan tanpa bahan yang mencurigakan. Namun, ketika berhadapan dengan kata “sertifikasi halal”, yang muncul di pikirannya bukan kebanggaan, melainkan kekhawatiran: formulir rumit yang tak dipahami, persyaratan dokumen yang membingungkan, serta kekhawatiran akan biaya yang dianggap tinggi, meskipun sesungguhnya pemerintah sudah membebaskannya untuk UMKM. Tantangan Ibu Siti bukanlah kurangnya niat, tetapi keterbatasan kapasitas. Ia tidak tahu bagaimana memetakan rantai pasok hingga ke pemasok minyak gorengnya, bagaimana memastikan setiap bahan terverifikasi, atau bagaimana mengakses sistem digital sertifikasi yang terasa asing. Dalam situasi seperti ini, jargon “percepatan sertifikasi halal” menjadi sekadar slogan bila tidak diiringi pendekatan yang lebih manusiawi dan kontekstual terhadap realitas pelaku UMKM.

Oleh karena itu, wacana besar sertifikasi halal harus bergeser dari sekadar penyederhanaan prosedur administratif menuju paradigma pendampingan yang menyeluruh dan berkelanjutan. BPJPH idealnya tidak lagi menjadi menara gading birokrasi yang menunggu pelaku usaha datang, tetapi harus menjelma sebagai mitra strategis yang turun langsung ke sentra-sentra produksi, mendengar keluhan, memahami tantangan, dan membantu menemukan solusi. Pendamping halal, dalam konteks ini, bukan hanya petugas administratif, melainkan konsultan bisnis yang mampu membimbing UMKM memahami nilai tambah dari kehalalan. Mereka harus bisa menjelaskan bagaimana sertifikasi dapat membuka akses pasar ekspor, meningkatkan kepercayaan konsumen, dan memperkuat branding produk lokal. Dengan demikian, proses sertifikasi halal tidak lagi dipandang sebagai kewajiban administratif semata, tetapi sebagai proses pemberdayaan ekonomi yang nyata.

Transformasi BPJPH menuju lembaga katalisator harus berdiri di atas tiga pilar utama. Pertama, pendampingan lapangan yang proaktif, di mana BPJPH berperan sebagai mentor, bukan sekadar auditor. Ini berarti hadir di lapangan secara berkelanjutan, menyediakan klinik halal di daerah, dan bekerja sama dengan perguruan tinggi, pesantren, serta asosiasi pengusaha lokal untuk menciptakan ekosistem pendampingan yang inklusif. Kedua, pembangunan kapasitas melalui pembentukan “Sekolah Halal UMKM” di berbagai daerah, yang berfokus pada literasi halal, manajemen produksi, strategi pemasaran, hingga digitalisasi usaha. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan prosedur sertifikasi, tetapi juga menanamkan cara berpikir halal sebagai nilai bisnis yang berkelanjutan. Ketiga, BPJPH harus berfungsi sebagai integrator ekosistem halal nasional dengan menghubungkan UMKM kepada akses permodalan, teknologi, logistik, dan pasar global. Kolaborasi dengan lembaga keuangan syariah, marketplace halal, dan lembaga ekspor menjadi kunci agar sertifikasi halal tidak berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar berdampak pada kesejahteraan pelaku usaha.

Tentu, akan muncul suara skeptis yang mengatakan bahwa tugas BPJPH hanyalah menyelenggarakan sertifikasi, bukan melakukan pendampingan bisnis. Pandangan ini sebenarnya keliru karena melupakan esensi Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) itu sendiri. UU JPH bukan semata tentang kepatuhan administratif, melainkan tentang perlindungan konsumen sekaligus pemberdayaan pelaku usaha. Dalam semangat itu, pendampingan bukanlah penyimpangan dari mandat, tetapi justru bentuk konkret dari tanggung jawab negara dalam membangun ekosistem halal yang berkeadilan. Ada pula yang berargumen bahwa program pendampingan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pandangan ini juga sempit, karena sesungguhnya dana untuk pendampingan adalah investasi strategis jangka panjang. Return on investment (ROI)-nya dapat diukur dari meningkatnya omzet, daya saing, dan ekspor UMKM tersertifikasi. Ketika ribuan UMKM naik kelas dan mulai menembus pasar regional, efek bergandanya terhadap penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja akan jauh lebih besar daripada biaya pendampingan itu sendiri.

Karena itu, tibalah saatnya bagi BPJPH untuk bertindak nyata. Lembaga ini perlu segera menerbitkan peta jalan transformasi yang terukur dan transparan, dengan indikator kinerja baru yang tidak hanya menargetkan jumlah sertifikat yang diterbitkan, tetapi juga mencakup peningkatan omzet, produktivitas, dan ekspor UMKM tersertifikasi. Evaluasi kinerja BPJPH tidak boleh lagi berbasis angka administratif, melainkan berbasis dampak ekonomi dan sosial. Pemerintah pusat bersama DPR perlu mendukung langkah ini dengan alokasi anggaran yang memadai dan kebijakan lintas kementerian yang sinkron. Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Agama harus berjalan dalam satu irama kebijakan, agar industri halal nasional tidak menjadi proyek sektoral yang tumpang tindih, melainkan gerakan ekonomi terpadu.

Lebih jauh, BPJPH juga perlu membangun sistem komunikasi publik yang persuasif dan edukatif. Kampanye halal harus disampaikan dengan bahasa yang membumi, dekat dengan keseharian pelaku UMKM. Cerita sukses seperti Ibu Siti dari Malang harus diperbanyak dan dipublikasikan secara luas agar menjadi inspirasi bagi jutaan pelaku usaha lain. Dalam era media digital, narasi yang kuat dapat menjadi instrumen perubahan perilaku yang efektif. Sertifikasi halal perlu ditampilkan bukan sebagai kewajiban administratif yang menakutkan, tetapi sebagai simbol keunggulan produk Indonesia yang layak bersaing di pasar global. Semangat “Halal Indonesia untuk Dunia” akan hidup bila diiringi kehadiran negara yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar mengatur dari jauh.

Pada akhirnya, kesuksesan sejati BPJPH dan ekosistem halal nasional tidak akan terukur dari banyaknya sertifikat yang dicetak, melainkan dari seberapa banyak pelaku UMKM yang merasakan manfaat ekonomi dan sosialnya. Ukuran keberhasilan sejati adalah ketika lahir ribuan Ibu Siti baru di seluruh penjuru nusantara—dari pengrajin dodol di Garut hingga pembuat rendang di Payakumbuh—yang produknya tidak hanya laris di pasar domestik, tetapi juga berjaya di etalase internasional dengan kebanggaan membawa label “Halal Indonesia”. Ketika itu terjadi, BPJPH bukan lagi sekadar lembaga administratif, tetapi telah menjadi champion sejati, lembaga yang tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi juga mengukir makna baru tentang kedaulatan ekonomi bangsa. Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, tetapi juga sebagai negara yang berhasil mentransformasikan nilai spiritual menjadi kekuatan ekonomi global. Dan pada titik itulah, mimpi besar menjadikan Indonesia pusat industri halal dunia bukan lagi wacana, melainkan kenyataan yang hidup di tangan para pelaku usaha kecil yang dulu pernah takut pada sertifikasi, namun kini menjadikannya sebagai sumber kekuatan dan kebanggaan nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *