Muhammad Deni Putra
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
MD Research Center, Yogyakarta; Dalam lanskap ekonomi global yang didominasi oleh sistem kapitalisme, para akademisi dan peneliti ekonomi Islam mengungkap sebuah realitas mengejutkan: ketegangan antara sistem ekonomi Islam dan kapitalisme global bukanlah sekadar perbedaan teknis atau instrumental belaka, melainkan benturan filosofis yang mendalam dan menyeluruh. Temuan ini semakin relevan dalam menjawab tantangan ekonomi kontemporer seperti ketimpangan yang semakin lebar dan dehumanisasi dalam sistem ekonomi modern. Perbedaan fundamental ini menyentuh hakikat paling dasar dari aktivitas ekonomi itu sendiri, mulai dari konsep kepemilikan, tujuan ekonomi, hingga definisi keadilan yang dianut oleh masing-masing sistem.
Mengapa Kapitalisme dan Ekonomi Islam “Bak Minyak dan Air”?
Konflik antara sistem ekonomi Islam dan kapitalisme bukanlah persoalan hitam putih mengenai mana yang benar dan mana yang salah, melainkan perbedaan mendasar dalam “dasar bangunan” filosofis yang menyangga masing-masing sistem sejak awal. Sebagaimana diungkapkan dalam kajian akademis, “Ketidakcocokan ini berakar pada perbedaan ontologis dan aksiologis yang menyentuh hakikat dan tujuan aktivitas ekonomi itu sendiri.” Perbedaan ini dapat dilacak dari tiga aspek fundamental. Pertama, dalam hal tujuan ekonomi, kapitalisme mengejar kepuasan individu dan maksimalisasi utilitas sebagai tujuan akhir, sementara ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai “Falah” – sebuah konsep kesejahteraan komprehensif yang mencakup keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kebutuhan material dan spiritual. Kedua, dalam konsep kepemilikan, kapitalisme menganut paham hak privat yang hampir absolut, sedangkan ekonomi Islam memandang kepemilikan sebagai amanah dari Tuhan yang mengandung tanggung jawab sosial. Ketiga, dalam hal konsep manusia ekonomi, kapitalisme melahirkan “Homo Economicus” – manusia rasional yang semata-mata mengejar keuntungan material pribadi, sementara ekonomi Islam membentuk “Homo Islamicus” – manusia yang beretika, bertanggung jawab secara sosial, dan menyadari dimensi transendental dalam setiap aktivitas ekonominya.
Perbedaan filosofis ini melahirkan implikasi praktis yang sangat nyata. Dalam sistem kapitalisme, mekanisme pasar seringkali dibiarkan berjalan tanpa intervensi signifikan, dengan asumsi bahwa invisible hand akan mengarah pada outcomes yang optimal bagi semua. Namun dalam praktiknya, hal ini justru sering menghasilkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, ketimpangan pendapatan yang lebar, dan eksternalitas negatif berupa kerusakan lingkungan serta dehumanisasi tenaga kerja. Sebaliknya, ekonomi Islam menekankan keseimbangan antara mekanisme pasar dan intervensi etis, antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, antara efisiensi ekonomi dan keadilan distributif. Dalam konteks inilah, ekonomi Islam bukan sekadar alternatif sistem ekonomi, melainkan sebuah kritik fundamental terhadap asumsi-asumsi dasar kapitalisme yang telah mendominasi pemikiran ekonomi modern selama berabad-abad.
Langkah Solutif: “Instrumen Hibrida” yang Menjembatani Nilai dan Pasar
Lalu, bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam di dalam sistem keuangan modern yang kompleks? Jawabannya terletak pada pengembangan instrumen keuangan hibrida yang mampu menjembatani nilai-nilai etis Islam dengan realitas pasar modern. Instrumen-instrumen ini tidak hanya mematuhi prinsip-prinsip syariah, tetapi juga menawarkan solusi inovatif terhadap masalah-masalah sosial-ekonomi kontemporer. Dua contoh paling menonjol dari instrumen semacam ini adalah Sukuk Linked Waqf dan Wakaf Saham.
Sukuk Produktif atau Sukuk Linked Waqf pada dasarnya mirip dengan obligasi syariah, tetapi dengan nilai tambah yang signifikan. Dana yang dihimpun melalui penerbitan sukuk tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan finansial, melainkan juga dialirkan untuk membiayai proyek wakaf produktif seperti rumah sakit, sekolah, atau pusat pelatihan masyarakat. Mekanisme ini menciptakan situasi win-win solution yang langka: investor tetap mendapatkan bagi hasil yang kompetitif, sementara masyarakat menikmati manfaat fasilitas sosial yang dibiayai melalui skema tersebut. Yang lebih revolusioner lagi, instrumen ini menghidupkan kembali tradisi wakaf dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem keuangan modern, menciptakan sumber pendanaan berkelanjutan untuk pembangunan sosial tanpa bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah atau donasi amal tradisional.
Sementara itu, Wakaf Saham merupakan terobosan konseptual yang memperluas definisi tradisional wakaf. Selama ini, wakaf seringkali dipahami sebagai pemberian aset fisik seperti tanah atau bangunan untuk tujuan sosial. Wakaf Saham memungkinkan aset finansial seperti saham perusahaan dijadikan instrumen wakaf, sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Mekanisme kerjanya relatif sederhana namun dampaknya potensial sangat besar: seseorang mewakafkan sebagian sahamnya yang kemudian dikelola secara profesional, dividen yang dihasilkan dari saham tersebut dialirkan secara terus-menerus untuk mendanai berbagai program sosial. Model ini mengubah filantropi dari sekadar aktivitas karitatif jangka pendek menjadi sistem kesejahteraan sosial yang produktif dan berkelanjutan. Sebagaimana diungkapkan dalam kajian akademis, “Wakaf saham memungkinkan aset finansial seperti saham perusahaan dijadikan instrumen wakaf, sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.”
Instrumen-instrumen hibrida semacam ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam bukanlah sistem yang tertutup atau anti-inovasi. Sebaliknya, dengan memadukan nilai-nilai etis tradisional dengan instrumen keuangan modern, ekonomi Islam justru menawarkan jalan tengah yang konstruktif antara idealisme nilai-nilai agama dan realitas ekonomi kontemporer. Yang lebih penting, instrumen-instrumen ini tidak hanya relevan bagi masyarakat Muslim, tetapi juga menawarkan solusi inovatif bagi permasalahan sosial-ekonomi universal seperti ketimpangan, kurangnya pendanaan untuk layanan sosial, dan kebutuhan akan model investasi yang beretika.
Kekuatan Rahasia Ekonomi Islam: Trust dan Modal Sosial
Di balik instrumen-instrumen keuangan yang canggih, ekonomi Islam sesungguhnya menyimpan “modal sosial” yang tak ternilai harganya: trust atau kepercayaan. Dalam ekonomi modern yang semakin impersonal dan transaksional, trust justru menjadi komoditas yang semakin langka namun semakin berharga. Ekonomi Islam, dengan fondasi nilai-nilai etisnya, memiliki potensi besar untuk membangun dan memelihara trust ini, yang pada akhirnya dapat menjadi keunggulan kompetitif dalam sistem ekonomi global.
Terdapat tiga nilai kunci dalam ekonomi Islam yang berfungsi sebagai “bensin” penggerak sistem ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Pertama, nilai Amanah yang menekankan integritas dan tanggung jawab dalam setiap transaksi. Dalam praktik ekonomi, nilai ini diterjemahkan sebagai komitmen untuk memenuhi janji dan kewajiban secara konsisten, yang pada gilirannya mengurangi biaya monitoring dan penegakan hukum. Kedua, nilai Shiddiq yang mengedepankan kejujuran dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi. Kejujuran bukan hanya dipandang sebagai kebaikan moral, melainkan juga sebagai investasi jangka panjang yang membangun reputasi dan kepercayaan – pondasi essential bagi bisnis yang berkelanjutan. Ketiga, nilai Ukhuwah atau persaudaraan yang mendorong kolaborasi dan jaringan bisnis yang solid, berbeda dengan semangat kompetisi mematikan yang seringkali mengkarakterisasi sistem kapitalis.
Yang menarik, nilai-nilai ini bukan sekadar wacana normatif belaka, melainkan memiliki dampak ekonomi yang terukur secara empiris. Penelitian Majeed (2019) menunjukkan bahwa peningkatan tingkat kepercayaan (trust) dalam masyarakat dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sekitar 1,9%. Temuan ini mengonfirmasi bahwa nilai-nilai Islam dalam ekonomi – seperti amanah, shiddiq, dan ukhuwah – bukan hanya sekadar prinsip religius, melainkan aset ekonomi yang nyata dan berdampak langsung pada kinerja ekonomi. Dalam konteks global dimana krisis kepercayaan terhadap institusi finansial konvensional semakin mengemuka, keunggulan ekonomi Islam dalam membangun dan memelihara trust ini bisa menjadi nilai jual yang sangat signifikan.
Kesimpulan & Tantangan ke Depan
Membangun ekonomi Islam yang relevan dengan tantangan kontemporer bukanlah proyek sederhana yang bisa diselesaikan dengan sekadar menempelkan label “syariah” pada produk-produk kapitalis yang sudah ada. Sebaliknya, ini adalah proyek besar yang membutuhkan rekayasa epistemologis mendalam – rekonstruksi fundamental terhadap cara kita memandang, memahami, dan mempraktikkan aktivitas ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam kesimpulan kajian akademis, “Membangun paradigma ekonomi Islam yang relevan adalah sebuah proyek transformatif yang membutuhkan rekayasa sosio-teknis dan upaya intelektual yang berani.”
Untuk mewujudkan visi ini, setidaknya ada tiga langkah strategis yang perlu diambil. Pertama, dari sisi kebijakan, pemerintah dan otoritas keuangan perlu mendorong regulasi yang mendukung pengembangan instrumen-instrumen hibrida seperti Sukuk Linked Waqf dan Wakaf Saham. Regulasi yang adaptif dan mendukung inovasi menjadi prasyarat essential bagi terciptanya ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi Islam yang autentik dan transformatif. Kedua, dari sisi akademis, diperlukan lebih banyak studi empiris untuk menguji efektivitas instrumen-instrumen ekonomi Islam dalam menciptakan keadilan distributif di lapangan. Selama ini, banyak diskusi tentang ekonomi Islam masih bersifat normatif dan filosofis; kita perlu lebih banyak evidence-based research yang dapat menunjukkan dampak nyata ekonomi Islam terhadap kesejahteraan masyarakat. Ketiga, dari sisi masyarakat umum, literasi keuangan syariah harus ditingkatkan secara signifikan agar masyarakat tidak hanya paham tetapi juga percaya dengan produk-produk ekonomi Islam yang inovatif. Tanpa dukungan dan partisipasi aktif masyarakat, mustahil bagi ekonomi Islam untuk berkembang menjadi alternatif yang credible terhadap sistem ekonomi yang sudah mapan.
Pada akhirnya, ekonomi Islam bukan sekadar alternatif sistem ekonomi, melainkan sebuah gerakan intelektual dan praktis untuk mendamaikan kembali aktivitas ekonomi dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dalam menghadapi tantangan global seperti ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, dan dehumanisasi, ekonomi Islam menawarkan perspektif yang segar dan solusi yang inovatif. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk berpikir di luar kotak, keluar dari cara pandang ekonomi yang sempit dan reduktif, dan membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan baru yang ditawarkan oleh paradigma ekonomi yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

